Kota Makassar ditetapkan sebagai salah satu kota pusat pertumbuhan yang ada di Indonesia bagian timur karena pertumbuhannya yang terbilang pesat. Pertumbuhan Kota Makassar yang pesat ini diharapkan mampu mendorong perekonomian wilayah lain di sekitarnya. Kemajuan dan perkembangan Kota Makassar tidak terlepas dari faktor pendukungnya, yaitu lokasinya yang sangat strategis. Kota Makassar merupakan kota pelabuhan yang berada di pesisir pantai dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar yang ramai dengan lalu lintas pelayaran lautnya. Hal ini menjadikan Kota Makassar sering disinggahi dan dilewati oleh kapal-kapal perdagangan dunia. Kondisi tersebut memengaruhi pertumbuhan Kota Makassar hingga menjadi seperti saat ini. Jadi, jawaban yang tepat adalah A. Untuk mempelajarinya lebih jelas, tonton video selanjutnya.
IniUrgensi Pernjanjian Dagang UEA-RI. Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional UEA (Foto: Setkab) JAKARTA - Penandatanganan Comprehensive Economic Partnership Agreement ( CEPA) baru-baru ini antara Indonesia dan Uni Emirat Arab menandai tonggak penting dalam hubungan yang sudah terjalin selama 46 tahun. › Nusantara›Perdagangan Berbuah Akulturasi... Akulturasi budaya di Makassar di antaranya lahir dari pedagang multietnis di masa lampau. Jejak pembauran ini bisa dijumpai dalam berbagai rupa dan menjadi penanda keterikatan antarwarga berbagai suku. KOMPAS/RENY SRI AYU ARMAN Ratusan orang menari bersama di Anjungan Pantai Losari, Makassar, Sulawesi ji batara bauleAti raja nakijai pa’nganroi baule Rajale alla kereaminjoAti… Ati… Ati rajaNitarima pappala’na bauleHanya ada satu TuhanAti raja, hanya kepada-Mu kami memintaApa pun itu yang sesungguhnyaAti… Ati… Ati rajaPasti akan diterima segala permintaanGenerasi muda di Kota Makassar saat ini barangkali banyak yang tidak tahu bahwa bait awal cuplikan lagu daerah Makassar ini diciptakan seorang seniman keturunan Tionghoa, Hoo Eng Djie 1906-1960. Menggunakan bahasa Makassar, lagu berjudul ”Ati Raja” istilah untuk hati yang lapang/bersih ini bercerita tentang pengakuan atas keberadaan Tuhan dan sekaligus tempat bermohon. Lagu ini sangat lekat di hati semua orang Makassar atau siapa pun yang pernah berdiam di kota ini. ”Ati Raja” bukanlah satu-satunya lagu Hoo Eng Djie, ada banyak lagu lain yang menjadi lagu daerah pecinan sebagai pusat perdagangan dan cikal bakal Kota Makassar, Sulawesi Selatan, memang memberi banyak warna dalam perkembangan kota dan juga warganya. Akulturasi dalam beragam rupa adalah salah satu hal penting yang lahir kemudian dari kawasan ini, termasuk lagu-lagu ciptaan Hoo Eng Djie tadi. Kedatangan beragam etnis di Makassar pada masa lampau, walau awalnya hanya untuk kepentingan berdagang, nyatanya melahirkan kisah pembauran. Di kawasan pecinan, kawin mawin antara etnis Tionghoa dan Bugis, Makassar, atau Melayu, kemudian melahirkan turunan peranakan. Para peranakan ini tak sekadar melanjutkan usaha moyang mereka, tapi juga menciptakan akulturasi dan harmoni. Akulturasi ini hadir di meja makan, di pesta adat, dunia berkesenian, dan banyak aspek lain Aritanto 60, budayawan Tionghoa yang menghabiskan masa kecil di tengah-tengah pecinan, masih ingat betul bagaimana setiap perayaan Maulid dia diminta mengantar telur berwarna merah dan beragam penganan ke masjid. Sejak dulu hingga kini banyak masjid di pecinan. ”Ibu saya punya usaha kue dan makanan. Setiap kali Maulid, dia akan menyempatkan waktu khusus membuat telur berwarna merah dan membuat songkolo nasi ketan, lalu meminta saya membawanya ke masjid,” SRI AYU Suasana Masjid Amanah Ende di kawasan pecinan Makassar, Selawesi Selatan, Kamis 15/7/2021. Masjid ini adalah salah satu jejak sejarah pembauran di David, moyang mereka punya tradisi membuat telur berwarna merah untuk menyambut atau memperingati kelahiran seseorang. Saat itu, pedagang Tionghoa akan ikut bersukacita merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang diwujudkan dengan membuat mengatakan, ada banyak jenis kuliner ataupun tradisi yang sesungguhnya adalah hasil akulturasi. Coto Makassar, kue-kue tradisional, hingga ornamen pelengkap pesta pernikahan dan pakaian adat adalah sebagian juga Menikmati Akulturasi di Meja MakanKuliner memang menjadi salah satu ikon pecinan Makassar. Dari kawasan ini lahir sejumlah warung kopi tertua yang hingga kini tetap bertahan. Pemiliknya kini mengembangkan usaha dengan model waralaba hingga lahir cabang-cabang di sejumlah wilayah, termasuk di luar Makassar. Sebut saja Warkop Phoenam dan Hai goreng Sulawesi, yang juga menjadi salah satu kuliner ikonik Makassar, bermula di Jalan Sulawesi, kawasan pecinan, lebih 50 tahun lalu. Cabangnya kini menyebar di sejumlah tempat. Begitu pula jalangkote yang jadi penganan khas Makassar. Beberapa usaha jalangkote yang besar kini dikelola generasi ketiga dari kawasan A SETYAWAN Coto Makassar menjadi menu utama di rumah makan Daeng Memang di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu 5/4/2017.Siapa pun yang pernah ke Makassar pasti pernah mendengar atau mencoba kuliner mi kering. Makanan berbahan mi garing yang diberi kuah kental berisi campuran ayam, udang, dan sayuran ini diperkenalkan oleh seorang warga keturunan yang akrab dipanggil Angko Cau. Makanan hasil kreasinya ini tak hanya menjadi kuliner ikonik di Makassar, tetapi juga menginspirasi banyak pemilik restoran hingga warung kaki lima untuk mengadopsi dan menjadikannya menu juga merupakan bentuk akulturasi budaya Tionghoa dan adat lelaki dalam suku Bugis dan Makassar dengan model kerah berdiri pun punya kemiripan dengan pakaian etnis Tionghoa. Begitupun ornamen dalam pakaian adat perempuan dengan gelang berhias naga. Ada pula hiasan pelaminan yang tampak seperti burung merak, tetapi bagi orang Tionghoa adalah burung korongtigi juga merupakan bentuk akulturasi budaya Tionghoa dan Bugis-Makassar. Korongtigi ini adalah momen melepas calon pengantin untuk memulai hidup baru yang digelar dalam ritual sakral yang dihadiri kerabat dekat.”Dalam pernikahan etnis Tionghoa, kami juga menggelar malam korongtigi dengan beragam kue sebagaimana lazimnya yang dilakukan suku Bugis Makassar,” tambah ARIYANTO NUGROHO Penari dari Yayasan Belantara Budaya Nusantara ketika membawakan tari kipas pakarena dari Gowa, Sulawesi Selatan, saat Pergelaran Tari Nusantara di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu 11/4/2021.Sejarawan Universitas Hasanuddin Dias Pradadimara mengatakan, keberadaan pedagang Tionghoa di masa lampau memang melahirkan pembauran. ”Ada banyak hal dari Tionghoa yang diadopsi dalam budaya Bugis, Makassar, maupun Melayu. Begitu juga sebaliknya. Dulu, identitas etnis sangat kuat dibandingkan mempersoalkan asal-usul,” etnis dan pembauran yang melahirkan keterikatan erat ini, sayangnya, pernah ternoda saat terjadi beberapa kali konflik berbau etnis di Makassar. Ini terutama saat pemerintahan Orde Baru.”Orang kemudian melihat etnis Tionghoa hanya dari satu sisi, padahal di antara mereka pun sebenarnya banyak konflik dan persaingan hingga faksi,” kata Dias. Ini yang kemudian membuat harmoni seolah pudar dan etnis Tionghoa terkesan menjadi juga Akulturasi Memperkaya BudayaSoal ini, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Yerry Wiryawan, mengatakan akulturasi yang baru mestinya bisa dibuat lagi. ”Akulturasi yang ada saat ini adalah peninggalan masa lalu. Mestinya bisa dikreasikan dan diciptakan lagi hingga terus ada yang baru. Bisa membuat kuliner, lagu, film, apa pun,” mengatakan, perihal memperbarui dan menciptakan akulturasi baru adalah sesuatu yang niscaya. Makassar adalah kota yang dicintai semua warganya, tak peduli latar belakang. Sejatinya, kebanggaan dan kecintaan ini adalah modal utama untuk melahirkan keterikatan yang lebih erat lagi. EditorMohamad Final Daeng 1 Bagaimana menciptakan ciri khas kawasan Somba Opu sebagai salah satu pusat perdagangan kota Makassar berupa pola dan bentuk agar memiliki identitas yang jelas 2. Bagaimana menciptakan kawasan Somba Opu menjadi kawasan perdagangan yang representatif ditinjau terhadap: - iklim - sirkulasi - prasarana 3.Kerajaan MakassarMakassar merupakan pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan karna letak wilayah Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri yang cukup menonjol dalam aspek kebudayaannya. Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan tradisi dagang. Berbeda dengan kebudayaan Mataram yang bersifat agraris, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau. Keterampilan membuat perahu phinisi merupakan salah satu aspek dari kebudayaan berlayar yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi masa pemerintahan Sultan Hasanuddin 1654-1660, Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaannya. Ia berhasil membangun Makassar menjadi kerajaan yang menguasai jalur perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur. Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo Makassar dengan Bone yang berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda dalam Perang Makassar 1660-1669. Perang ini juga disulut oleh perilaku orang-orang Belanda yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku dan mencoba ingin memonopoli perdagangan. Sebagai salah satu kota dan Bandar niaga di Asia Tenggara, Somba Opu memiliki setidak – tidaknya lima konsul dagang Eropa sebagai tempat perwakilan dagang Negara – Negara Eropa di kerajaan itu. Konsulat dagang yang ada di Somba Opu antara lain, Konsulat Portugis, Konsulat Denmark, Konsulat Inggris, Konsulat Spanyol dan Konsulat Belanda. Namun Konsulat Belanda menarik diri pada tahun 1661 karena tahun 50an perusahaan - perusahaan ekspedisi Belanda berlomba-lomba mengirimkan armadanya untuk memperebutkan rempah Indonesia. Akibat persaingan itu adalah meningkatnya pengiriman rempah ke Eropa dan naiknya harga rempah. Untuk mengatasi persaingan dagang yang tidak sehat pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda itu akhirnya melebur menjadi satu pada tanggal 20 Maret 1602 dengan nama Vereenigde Oost-Indische Compagnie VOC atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur. Dalam lidah kita persekutuan dagang itu dikenal dengan nama Kompeni dari kata Compagnie. Namun perwakilan dagang VOC di Somba Opu tidak terlalu berkembang karena kekurangan modal dibandingkan dengan perwakilan – perwakilan dagang Eropa lainnya. Akibatnya perwakilan dagang VOC tutup. Memang, sementara volume perdagangan antara Gowa dengan Negara – Negara Eropa lainnya berkembang sedangkan VOC malah terancam bangkrut. Pedagang rempah di Maluku yang selama ini menjadi sumber utama VOC telah segan untuk berdagang dengan VOC karena memasok harga dibawah standar Somba Opu. Akibatnya ibukota Somba Opu semakin ramai dan semarak menjadi ajang tawar – menawar perdagangan. Dan oleh sebab itu juga Somba Opu menjadi incaran utama pedagang – pedagang dari Eropa untuk mendapatkan modal yang bangkrutnya VOC yaitu disebabkan karena mereka lagi berperang dengan Malaka. Sejak jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan kompeni banyak pedagang asing yang merupakan saingan kompeni membangun ,usaha di Makassar yang merupakan pusat perdagangan. Melihat kejayaan kerajaan Makassar. Kompeni berniat hendak mematikan usaha – usaha dagang yang sungguh sangat maju dan semarak itu. Kompeni tidak tahan melihat perdagangan Cengkeh hasil dari Kepulauan Maluku yang di usahakan pedagang – pedagang Spanyol, Portugis, Inggris dan bangsa lain – lain berjalan sangat pesat di Somba Opu yang merupakan sebagai pelabuhan transito. Pada tahun 1637 terjadi peperangan antara pedagang – pedagang asing alinasi Portugis, Inggris, Spanyol, Denmark dan Francis dengan Belanda karena mereka menilai Belanda telah merusak tata niaga perdagangan dan menentang prinsip – prinsip Perjanjian Eropa West Phalia dan Perjanjian Hiderabat. Sultan Hasanuddin yang merupakan raja dari Kerajaan Makassar pada saat itu membantu aliansi Eropa melawan Belanda dalam perang. Akibatnya kompeni Belanda terdesak di beberapa wilayah di Maluku dan Selat Makassar. Bantuan Raja Sultan Hasanuddin dipandang sebagai perang terbuka oleh kompeni. Akibatnya Belanda lebih mengkonsentrasikan diri untuk merebut kota dagang Somba Opu. Terjadilah peperangan selama puluhan tahun, namun pada akhir tahun 1667 Kerajaan Makassar menyerah maka raja Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone daerah kekuasaan Makasar. Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan dari perjanjian Bongaya antara laina. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Aru Palaka diakui sebagai raja perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba putra Hasannudin meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya. Perang Makasar 1666-1668 sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara Kerajaan Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan monopoli. Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC untuk mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh melayarinya. Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar itolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.”Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh kepulauan itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di kepulauan antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone Aru Palaka dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani. Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri Bone yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia. Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar Yang berada dalam masa peralihan ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh kepulauan itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di kepulauan antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone Arung Palakka dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani. Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri Bone yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia. Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arung Palakka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar Yang berada dalam masa peralihan ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Dengankekuasaan yang besar, VOC akhirnya menjadi "negara dalam negara" dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619--1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai.